Senin, 03 Oktober 2016

wisata kali biru memang paling mantap


Desa Wisata Kalibiru adalah tempat wisata yang berada di atas Waduk Sermo, yang merupakan satu-satunya Waduk di Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wisata Kalibiru merupakan pengembangan dari adanya Wisata Alam Kalibiru.
Pengembangan ini perlu dilakukan mengingat semakin banyaknya permintaan dan tuntutan banyak pihak, khususnya para pengunjung Wisata Alam akan kebutuhan rekreasi yang menampilkan budaya dan kehidupan masyarakat lokal, yang masih belum mampu terpenuhi dari sisi Wisata Alam.
Jadi keberadaan Desa Wisata Kalibiru tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Wisata Alam di wilayah ini sebagai cikal bakal sekaligus andalan bagi Desa Wisata Kalibiru. Keberadaan Wisata Alam sendiri tidak lepas dari proses panjang pengelolaan kawasan hutan yang ada di Kulon Progo, yang pada akhirnya dikelola oleh masyarakat sekitar hutan dengan nama Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Sementara Izin Pemanfaatan HKm juga tidak bisa dilepaskan dari Sejarah Hutan Negara yang ada di wilayah ini, karena keberadaan Hutan Negara menyimpan banyak cerita yang cukup mengesan, khususnya bagi penduduk di sekitarnya.
_________________________________
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah skema Perhutanan Sosial yang dilaksanakan di Hutan Negara Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Izin Usaha Pemanfaatan HKm di Kabupaten Kulon Progo dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) seluas keseluruhan kira-kira 200 Ha dari keseluruhan luas Hutan Negara 1.045 Ha.
Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) untuk jangka panjang (35 tahun) diberikan oleh Pemerintah kepada 7 (tujuh) Kelompok Tani HKm sejak tahun 2007.

Sejarah Terjadinya Hutan Negara

Terjadinya Hutan Negara di Kulon Progo merupakan proses yang cukup menarik untuk diungkapkan, mengingat banyak sekali nilai-nilai historis yang harus dipahami oleh banyak pihak. Berikut sekilas cerita tentang terjadinya Hutan Negara di Kabupaten Kulon Progo pada umumnya dan di Kalibiru pada khususnya.

Sebelum Tahun 1930
Hutan Negara dahulu merupakan Perkampungan
Pada era sebelum tahun 1930, “Hutan Negara” yang ada Kabupaten Kulon Progo sekarang ini, adalah merupakan perkampungan penduduk yang telah dihuni sejak lama secara turun-temurun.
Penduduk di kawasan ini bekerja sebagai petani tradisional dengan luas lahan pertanian yang sangat terbatas.
Tahun 1930 – 1945
Penutupuan Kawasan oleh Penjajah
Pemerintahan Hindia Belanda pada masa ini menetapkan sebagian perkampungan tersebut sebagai kawasan tertutup untuk semua kegiatan rakyat. Kebijakan ini diambil karena kawasan ini akan dijadikan kawasan hutan sebagai penghasil kayu.
Penduduk yang tinggal di kawasan ini dipaksa keluar dari kawasan tanpa diberikan kompensasi yang layak. Mereka tidak mampu melawan keputusan Pemerintah Hindia Belanda, karena rakyat berada pada posisi yang lemah (terjajah).
Penduduk terpaksa keluar dari kawasan dan tinggal di sekitar kawasan yang telah ditetapkan tersebut.
Tahun 1945 – 1949
Status kawasan tutupan menjadi Hutan Negara
Pada masa ini penguasaaan terhadap kawasan hutan diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, yang kemudian ditetapkan sebagai “Hutan Negara”.
Secara keseluruhan Hutan Negara yang ada di Kabupaten Kulon Progo adalah seluas 1.047 Ha, dan sebagian besar merupakan lahan berbukit di sepanjang perbukitan Menoreh.
Tahun 1949 – 1964
Masa kondisi Hutan sangat bagus
Pemerintah berhasil melakukan reboisasi di kawasan Hutan Negara. sehingga kawasan ini betul-betul mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Kawasan ini mampu menjadi daerah tangkapan air yang sangat baik.
Mata air mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, sehingga pemukiman di sekitar kawasan ini tidak pernah mengalami kekeringan.
Keawetan tanah juga lebih terjaga, tanah longsor hampir tidak pernah terjadi. Demikian juga bencana banjir dapat dicegah.
Di sisi lain, keanekaragaman hayati baik berupa tanaman maupun satwa juga terjaga dengan baik.
Masyarakat merasa nyaman tinggal di sekitar kawasan ini. Kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari lahan-lahan pertanian mereka.
Tahun 1964 – 2000
Kondisi Hutan Negara Kritis
Pada periode ini kondisi Hutan Negara mulai mengalami kerusakan. Secara perlahan-lahan kualitas hutan semakin menurun akibat pengrusakan hutan.
Berawal pada sekitar tahun 1964 – 1965, di mana pada waktu itu situasi politik Indonesia berada dalam kekacauan akibat adanya pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini secara sosial dan ekonomi berdampak pada masyarakat yang khawatir terhadap situasi yang berkembang. Kekhawatiran ini juga terjadi pada masyarakat di sekitar Hutan Negara.
Karena desakan kebutuhan ekonomi, akhirnya mereka memilih jalan pintas dengan cara mencuri kayu di Hutan Negara.
Peluang untuk menebang pohon hutan ini semakin terbuka karena penjagaan keamanan hutan tidak begitu ketat seperti waktu-waktu sebelumnya. Oknum penjaga hutan (Mandor Hutan) yang mestinya bertugas mengamankan hutan, justru bertindak sebaliknya. Mereka juga terlibat dalam pembalakan hutan tersebut. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga kondisi hutan yang dulunya lebat dan bagus, semakin hari semakin berkurang tanamannya.
Puncak dari kerusakan hutan terjadi pada saat terjadi krisis global (1997 – 2000), di mana kontrol Pemerintah terhadap sumberdaya hutan betul-betul lemah, sehingga banyak pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk melakukan pembalakan liar. Akibatnya terjadi penebangan secara besar-besaran di kawasan ini, dan hanya menyisakan sebagian kecil tanaman kayu hutan.
Sangat ironis, karena Hutan Negara hanya tinggal status saja, sementara jika dilihat kondisinya di lapangan tidak bisa disebut sebagai hutan, karena hanya berujud hamparan tanah kosong dan batuan yang hanya ditumbuhi tanaman umbi-umbian dan pohon perdu lainnya.
Dampak Kerusakan Hutan
 Kerusakan hutan ini secara ekologis membawa dampak negatif yang sangat besar dan meluas, di mana kekeringan selalu terjadi pada waktu musim kemarau. Demikian pula sebaliknya, pada waktu musim penghujan selalu terjadi tanah longsor dan banjir. Sumberdaya alam dan hutan yang pernah memberikan suasana yang aman dan nyaman ini, sekarang justru menjadi ancaman bagi masyarakat.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan pun juga terlihat nyata, di mana banyak warga yang jatuh dalam kemiskinan karena usaha pertaniannya sering gagal.
Kemiskinan yang terjadi membuat tekanan penduduk terhadap kawasan Hutan Negara semakin menguat. Lahan yang mulai gersang tersebut, secara sembunyi-sembunyi ditanami dengan tanaman semusim untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi mereka. Kawasan hutan pun berubah fungsi menjadi lahan pertanian.
Upaya Mengembalikan Kondisi Hutan
Selama kurun waktu terjadinya kerusakan Hutan Negara, pihak Pemerintah telah berulang kali melakukan upaya pemulihan kondisi hutan, baik melalui proyek reboisasi, maupun kerjasama (kontrak) penanaman pohon dengan masyarakat (Kelompok Tani). Namun upaya tersebut tidak membawa hasil karena belum mampu mengatasi akar permasalahannya.
Penyebab kegagalan tersebut antara lain:
Pola perencanaan kegiatan Pemerintah dilakukan secara top-down, sehingga kurang membuka ruang partisipasi bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap kegiatan Pemerintah tersebut;
Pembentukan Kelompok Tani terkesan lebih berorientasi pada kebutuhan sesaat, sebagai syarat untuk memenuhi kelengkapan proyek saja, bukan untuk melestarikan hasil kegiatan. Hal ini terlihat dari tidak adanya aturan main yang kuat dan mengikat antara pihak Pemerintah dengan Kelompok Tani;
Tidak adanya kepastian hukum bagi mereka ketika ikut melestarikan hutan, sehingga ada kekhawatiran bahwa ketika tanaman hutan sudah rapat mereka tidak bisa lagi memanfaatkan lahan untuk tanaman pangan (tumpangsari);
Kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap kelestarian hutan masih sangat rendah. Akibatnya, setiap tanaman hutan mulai tumbuh tinggi, pada waktu itu juga penggarap lahan menebangnya agar tidak menutupi tanaman pangan mereka;
Tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek yang sangat mendesak.
Perjalanan Menuju Hutan Kemasyarakatan

Tahun 1999 – 2008
Pendampingan oleh LSM (Yayasan Damar)

Memuncaknya pembalakan hutan yang terjadi antara tahun 1997 – 2000 telah membuat beberapa warga yang peduli terhadap hutan merasa prihatin. Hal ini juga menjadi alasan bagi salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) – yaitu Yayasan Damar – untuk masuk ke wilayah masyarakat di sekitar Hutan Negara tersebut.
Pada akhir tahun 1999, melalui pendekatan terhadap orang-orang yang dianggap peduli terhadap hutan, LSM ini mulai melakukan identifikasi penyebab permasalahan yang mengakibatkan pembalakan hutan tersebut. Kehadiran LSM ini di tengah masyarakat sempat menimbulkan kecurigaan warga. Namun setelah mereka memahami maksud dan tujuannya, perlahan-lahan mereka bisa menerima keberadaan LSM ini. Hal ini didukung oleh cara pendekatan yang dilakukan, dinilai bisa menjembatani permasalahan yang sedang mereka hadapi berkaitan dengan kondisi Hutan Negara.
Pada pertengahan tahun 2000 dimulailah pendampingan secara intensif oleh Yayasan Damar terhadap masyarakat “perambah” Hutan Negara. Pendampingan dilakukan terhadap 7 Kelompok Tani, yang berada di 3 Desa, 2 Kecamatan.
Setelah melalui proses pendampingan yang cukup intensif baik berupa pertemuan warga, pelatihan-pelatihan, diskusi, studi banding, maupun kegiatan partispatif lainnya, akhirnya masyarakat mengalami beberapa perubahan yang cukup mendasar, antara lain:
Tumbuhnya kembali kesadaran kolektif masyarakat terhadap kelestarian hutan;
Tumbuhnya kesadaran masyarakat atas hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dalam pengelolaan Hutan Negara;
Terpeliharanya norma-norma dan kearifan lokal masyarakat.
Seiring dengan perubahan tersebut, masyarakat mulai melakukan upaya pembenahan melalui perencanaan kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan kelestarian Hutan Negara. Rencana kegiatan difokuskan pada 3 aspek pengelolaan Hutan Negara yang dinilai sangat mendasar, yaitu:

1.     Kelola Kelembagaan
Kelembagaan petani yang sudah ada – tanpa harus membentuk Kelompok Tani baru – mulai dibenahi dan dikuatkan organisasinya dengan cara:
Penyegaran/membentuk pengurus dengan kelengkapan organisasi sesuai dengan kebutuhan
Membuat aturan kelompok yang mengatur tentang hak, kewajiban, dan sanksi terhadap anggota;
Membuat Rencana Kelola lahan Hutan Negara;
Melakukan pertemuan rutin (bulanan) sebagai sarana musyawarah, evaluasi, dan silaturahmi antar anggota.
2.     Kelola Kawasan
Aturan kelompok yang sudah dibuat, kemudian diterapkan di dalam kawasan Hutan Negara. Beberapa hal yang dilakukan antara lain:
Melakukan pembagian andil terhadap anggota;
Melakukan penataan dan pengolahan lahan sesuai kaidah konservasi;
Melakukan penanaman bibit tanaman kehutanan dengan jenis dan jarak tanam yang sudah disepakati;
Memberi tanda nomor pada pohon yang masih ada sebagai alat kontrol bersama untuk mencegah terjadinya pencurian kayu hutan.
3.     Kelola Usaha
Untuk mengatasi persoalan ekonomi agar kondisi hutan tetap terpelihara, maka dilakukan beberapa kegiatan ekonomi produktif, antara lain:
Mendirikan Badan Usaha Koperasi;
Melakukan penanaman tanaman produktif (tumpangsari dan empon-empon);
Melakukan penanaman hijauan makanan ternak (HMT) di teras-teras lahan kehutanan;
Menggiatkan kembali usaha peternakan dan industri rumah tangga.
Tahun 2003
Terbitnya Izin Sementara Pengelolaan HKm

Besamaan dengan upaya tersebut, atas dasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts-II/1998 yang kemudian berganti menjadi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 31 tahun 2000, tentang Hutan Kemasyarakatan, ke-7 Kelompok Tani secara resmi mengajukan izin pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada Pemerintah.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada tangal 15 Februari 2003, Pemerintah melalui Bupati Kulon Progo mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Izin Sementara Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada 7 Kelompok Tani Hutan (KTHKm) tersebut, untuk jangka waktu 5 tahun.

Jangka waktu 5 tahun izin sementara merupakan waktu untuk melakukan uji coba terhadap Kelompok Tani HKm dalam mengelola Hutan Negara. Pada akhir berlakunya izin tersebut akan dilakukan evaluasi untuk menilai apakah Kelompok Tani HKm berhak mendapatkan izin tetap (definitif) dengan jangka waktu yang lebih lama.

Dalam jangka waktu ini beberapa syarat harus dipenuhi oleh Kelompok Tani HKm, antara lain:
Kelompok Tani harus sudah ber-Badan Hukum Koperasi;
Lahan kehutanan harus sudah ditanami tanaman hutan sesuai dengan rencana kelola masing-masing kelompok;
Kelembagaan petani harus berjalan sesuai aturan internal yang sudah disepakati bersama;
Keamanan hutan harus dijaga agar tidak terjadi perusakan dan pencurian kayu lagi.
Agar pelaksanaan Izin Sementara HKm ini agar dapat berjalan dengan baik, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo membentuk Forum Komunikasi dan Konsultasi Hutan Kemasyarakatan (FKKHKm). Forum ini beranggotakan unsur-unsur multipihak yang ada di Kabupaten Kulon Progo, yang merupakan perwakilan dari Pemerintah, LSM, dan masyarakat (perwakilan Kelompok Tani HKm).

Tujuan dibentuknya forum ini antara lain adalah:
Sebagai sarana komunikasi dan konsultasi bagi parapihak terhadap permasalahan Hutan Kemasyarakatan;
Memfasilitasi kebutuhan kelompok tani pemegang izin HKm dalam Penguatan Kelembagaan;
Sebagai media evaluasi terhadap perkembangan kondisi Hutan Negara;
Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terhadap hasil evaluasi pelaksanaan izin sementara HKm.
Waktu 5 tahun bukanlah waktu yang panjang untuk melakukan pembenahan terhadap kelembagaan kelompok, lahan hutan, dan persoalan lainnya. Namun berkat kerja keras dengan dilandasi oleh kebersamaan dan kesadaran masyarakat hal tersebut dapat dilalui dengan baik.

Beberapa capaian yang telah dihasilkan oleh ke-7 KTHKm, selama jangka 5 tahun tersebut, antara lain:
Terbentuknya Badan Hukum Koperasi di masing-masing kelompok (tahun 2006);
Pembagian andil kepada anggota dapat diselesaikan dengan baik melalui musyawarah anggota;
Reboisasi dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan pola tanam yang direncanakan oleh masing-masing kelompok;
Pemberian tanda Nomor pada tanaman yang ada di Hutan Negara sebagai alat kontrol dapat diselesaikan;
Pembalakan hutan dapat ditekan, bahkan hampir tidak terjadi lagi pencurian kayu hutan;
Kelembagaan petani berjalan dengan baik dan secara rutin melakukan pertemuan anggota (selapanan).
Tahun 2007
Terbitnya Izin Tetap (Definitif) HKm

Atas dasar perkembangan yang positif tersebut, FKKHKm memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk memberikan izin tetap (definitif) kepada ke-7 (tujuh) Koperasi/KTHKm pemegang izin sementara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 437/Menhut-II/2007 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Bupati Kulon Progo mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada 7 Koperasi/KTHKm di Kulon Progo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar